BAB I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Dunia usaha merupakan suatu dunia
yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak aspek dari berbagai
macam dunia lainnya turut terlibat langsung maupun tidak langsung dengan dunia
usaha ini. Keterkaitan tersebut kadangkala tidak memberikan prioritas atas
dunia usaha, yang pada akhirnya membuat dunia usaha harus tunduk dan mengikuti
rambu-rambu yang ada dan seringkali bahkan mengutamakan dunia usaha sehingga
mengabaikan aturan-aturan yang telah ada.
Pesatnya perkembangan dunia usaha
adakalanya tidak diimbangi dengan “penciptaan” rambu-rambu pengawas. Dunia
usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan rambu-rambu yang ada
jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya. Apabila
hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan bisnis dan dunia
usaha, maka hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia
usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu
berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema
dunia usaha yang timbul seperti Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat.
BAB II
PEMBAHASAN
Anti
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan yg berhubungan dengan etika persaingan perdagangan yang mengakibatkan
adanya sektor yang dirugikan contohnya pengusaha-pengusaha yang melakukan
tindak kecurangan seperti penyuapan dan peraturan atas dasar hak sendiri dan
tidak mempedulikan hukum yang berlaku dan merugikan orang-lain.
Anti monopoli sebenernya tidak berpengaruh langsung kepada rakyat,tetapi dampak yang diakibatkan langsung ke pemerintahan dan akibat dari itu rakyat juga merasakanya,sebagai contoh adanya kecurangan terhadap permainan tender-tender pengusaha ternama,dan adanya pengusaha lain yang dirugikan akan merusak nilai nilai hukum dan terjadilah penyuapan maupun korupsi agar proyek tersebut dapat berhasil.
Anti monopoli sebenernya tidak berpengaruh langsung kepada rakyat,tetapi dampak yang diakibatkan langsung ke pemerintahan dan akibat dari itu rakyat juga merasakanya,sebagai contoh adanya kecurangan terhadap permainan tender-tender pengusaha ternama,dan adanya pengusaha lain yang dirugikan akan merusak nilai nilai hukum dan terjadilah penyuapan maupun korupsi agar proyek tersebut dapat berhasil.
Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat
seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara
mutlak, tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian.
Monopoli diartikan sebagai suatu hak istimewa (previlege), yang
menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan
penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Black’s Law Dictionary:
Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang
dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau
menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan
dan komersial. Adanya
persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai
keinginan yang tinggi untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi
perusahaan yang besar dan paling kaya.
Pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan DPR, akhirnya mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
dalam suatu Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1999, Yang Dalam UU tersebut dimaksud dengan Monopoli adalah “penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha”. Sedangkan yang dimaksud
dengan persaingan usaha tidak sehat adalah “ persaiangan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.”
Perangkat Hukum yang Ada Sebelum Lahirnya UU No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
No
|
Aturan Perundang-
Undangan
|
Pasal
|
Isi
|
1
|
KUH Pidana (W.v.S)
|
Pasal 382 bis
|
Larangan dan ancaman pidana bagi pihak yang
melakukan perdagangan curang
|
2
|
B.W.
|
Pasal 1365
|
Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut untuk
memberi ganti rugi.
|
3
|
UU PA No.5 Tahun 1960
|
Pasal 13
|
Monopoli di bidang pertanahan harus dicegah.
|
4
|
UU No. 19 Tahun 1992/ UU No.14 Tahun 1997 tentang
Merek
|
Pasal 81 dan 82
|
Ancaman pidana bagi perbuatan curang dalam pemakaian
merek
|
5
|
UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
|
Pasal 7 (3)
|
Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh
salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat
|
6
|
UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
|
Pasal 104 Ayat 1
|
Mencegah kemungkinan terjadinya monopoli atau yang
merugikan masyarakat akibat penggabungan, peleburan dan pengambil alihan
perusahaan
|
7
|
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
|
Pasal 10
|
Melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya
persaingan sehat dalam pasar modal
|
8
|
UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
|
Pasal 8 (b)
|
Mencegah pembentukan struktur pasar pasar yang
dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli,
oligopoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.
|
9
|
Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
|
Pasal 4(1b)
|
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan
perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
dan persaingan sehat
|
10
|
Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 1992 tentang
Bank Umum.
|
Pasal 15 (1)
|
Merjer dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah
ada izin dari Menkeu.
|
Akan tetapi, dalam upaya menciptakan iklim persaingan
yang sehat, ternyata masih belum ada putusan pengadilan Indonesia mengenai
perbuatan curang yang dibuat berdasarkan gugatan perdata atas dasar Pasal
1365 B.W. atau perkara pidana yang menggunakan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Yurisprudensi yang ada hanyalah perkara-perkara merek dagang sehingga
yurisprudensi di bidang persaingan curang dan monopoli usaha dalam rangka
untuk mengatasi kelemahan aturan prundang-undangan yang berlaku melalui
kearifan hakim sejauh ini belum pernah ditemukan.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa penegak hukum memiliki pemahaman yang
terbatas dalam memahami aspek-aspek di luar hukum. Akibat dari kelemahan
penagak hukum maka praktek-praktek monopoli sampai saat ini masih serin terjadi
dan secara terus menerus merugikan masyarakat.
Secara umum, materi dari Undang-undang tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6
(enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :
- perjanjian yang dilarang.
- kegiatan yang dilarang.
- posisi dominan.
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha
- penegakan hukum
- ketentuan lain-lain
Dapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah
penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan
oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha
maka terbuka peluang untuk menghindari dan mematikan bekerjanya mekanisme pasar
(market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan
konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai
kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas dan
kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan (kartel) guna memperoleh
keuntungan yang setinggi-tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan
di antara para pelaku usaha juga dapat tejadi secara curang (unfair
competition) sehingga merupakan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu,
pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak
diperlukan. Meskipun monopoli harus dicegah tapi sampai saat ini belum
ada suatu perangkat hukum maupun bisnis yang mampu untuk mencegah terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan monopoli yang
dilakukan oleh BUMN saat ini yang cenderung merugikan masyarakan ketimbang
memberi manfaat sulit untuk di awasi. Keterbukaan informasi yang kurang
menyebabkan praktek monopoli semakin merajalela dan masyarkat-pun tidak mampu
berbuat apa-apa karena tidak mengetahuinya.
Jika berbicara mengenai monopoli, kita tidak dapat
melepas perhatian kita dengan gejala perkembangan konglomerasi yang
banyak menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan para ahli. Pendapat
mereka pun tidak selamanya sama. Suara sumbang mengenai monopoli memang banyak
terdengar. Adanya kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang atau produk
tertentu mulai menjangkiti dan mewabah di Indonesia. Sebagai bentuk penguasaan
pangsa pasar atas produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan
sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan mekanisme perekonomian yang
sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring
dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar dan produk tertentu.
Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk
tertentu dapat menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme
pasar tidak berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli kebutuhan primer.
Dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali membeli produk monopoli itu.
Monopoli dapat terjadi dalam setiap sistem ekonomi.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme, dengan instrumen adanya
kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan
bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai
anak kandungnya. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya
perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya
agar menjadi yang paling besar, paling hebat, dan paling kaya.
Dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme,
monopoli juga terjadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai instrumental
perencanaan ekonomi yang sentralistik mekanistik dan pemilikan faktor produksi
secara kolektif, segalanya dimonopoli negara dan diatur dari pusat.
Sedangkan di Indonesia dengan sistem ekonomi
pancasila, kita mencoba menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung
dalam sistem liberalisme dan sosialisme. Ciri-ciri negatif seperti free
figh liberalism, yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme di
mana negara besrta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan
meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan
pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat.
Landasan Yuridis Philosofis
Dalam UU No 5 Tahun 1999 disebutkan pula tentang
landasan Yuridis Philosofis dalam bidang perekonomian Indonesia yaitu ketentuan
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai landasan pokok yang kuat bagi perekonomian
Indonesia. Landasan Yuridis philosofis ini sebelumnya telah dicanangkan dalam
landasan kebijakan ekonomi Indonesia dalam era pemerintahan Orde Baru.
Kebijakan tersebut telah digariskan dalam Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 yang
mengatur tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan.
Dalam Pasal 7 (c) Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 lebih lanjut disebutkan, bahwa
“ dalam demokrasi ekonomi di Indonesia, sudah tidak ada tempat bagi monopoli
yang merugikan masyarakat.” Namun sayang Tap MPRS
tersebut dilanggar sendiri oleh rezim Orde Baru dengan praktek Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme-nya.
Dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945 dapat kita
lihat ciri-ciri positif yang hendak kita capai dan mempertahankan dalam sistem
perekonomian kita. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas
kekeluargaan, Cabang produksi yang penting bagi negara dan mengenai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara serta bumi dan air beserta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Jadi secara implisit, UUD 1945 juga mengakui adanya monopoli
berupa penguasaan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Ini
terealisasi dari penguasaan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atas
bidang tertentu. Misalnya PLN menguasai listrik, Pertamina memonopoli minyak
dan gas bumi, PT PT Kereta Api menguasai perkretaapian.
Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya
monopoli yang diizinkan oleh GBHN:
1. monopoli diberikan kepeda penemu barang baru, seperti
oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi pemikiran yang
kreatif dan inofatif;
2. monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN,
lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;
3. monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta
dengan kredit pemerintah;
4. monopoli dan kedudukan monopolistik yang diperoleh
dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan yang dilakukan
secara sehat. Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun masuknya siapa
saja ke dalam investasi yang sama harus terbuka lebar;
5. monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang
diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga hanya
satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski demikian,
Pemerintah harus tetap bersikap persuasif dan kondusif dalam memecahkan
monopoli;
6. monopoli atau kedudukan monopolistik terjadi karena
pembentukan kartel ofensif;
7. monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi
karena pembentukan kartel defensif;
8. monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan
maksud membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan
tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.
MACAM-MACAM BENTUK DAN CARA TERJADINYA MONOPOLI
1.
MONOPOLY BY LAW
UUD 1945 pasal 33 juga membenarkan adanya
monopoli jenis ini, yaitu dengan memberikan monopoli bagi negara untuk
menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Dengan demikian menurut UUD 1945, sektor yang
menguasai hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api
dan sektor-sektor lain yang karena sifatnya yang memberik palayanan untuk
masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan.
Sayangnya masih banyak pihak yang menyalahartikan
maksud mulia yang dikandung UUD 1945 kita, seperti asas kekeluargaan
ditafsirkan sebagai “keluarga sendiri. Sehingga sering kita lihat pada suatu
institusi atau perusahaan hanya kerabat mereka saja yang dilibatkan.
Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan
baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain
juga merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.
2.
MONOPOLY BY NATURE
Yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah
karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat bentuk
monopoli seperti ini yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki
keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh
pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang
cocok dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan
didukung bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang dominan.
3.
MONOPOLY BY LICENSE
Monopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan
menggunakan mekanisme kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering menimbulkan
distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu keseimbangan (equilibrium)
pasar yang sedang berjalan dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang
memiliki monopoli tersebut.
1.
Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat
Perilaku dan Sifat Manusia
Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan
besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil
mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal (capital) yang sangat besa
untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.
Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4)
dapat mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu,
jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada
suatu waktu kekuatan ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.
Adanya Undang-undang tentang Larangan dan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan rambu-rambu dan batasan
dalam mengakses “kue” pembangunan sehingga si besar tidak dengan seenaknya
mengambil bagian si kecil. Batas-batas yang jelas akan merupakan pagar agar
salah satu pihak melihat pihak lain bukan sebagai saingan tetapi sebagai mitra
untuk bekerja sama.
Sebelumnya usaha-usaha kearah itu sudah dilakukan
pemerintah. Misalnya menganjurkan sistem Bapak Angkat. Perusahaan-perusahaan
yang besar dianjurkan untuk menjadi “bapak” dan mendidiki anak-anaknya agar
menjadi besar dan berguna bagi nusa dan bangsa. Konsep ini tampaknya cukup
ideal bila semua pihak terpanggil untuk menjadi bapak dan mengasuh seorang anak
untuk diasuh. Jika sudah menjadi bapak banyak juga yang belum benar-benar
menjadi seorang bapak yang baik karena mereka masih mengharapkan sesuatu dari
anak-anaknya.
Selanjutnya pemerintah juga pernah menganjurkan agar
perusahaan konglomerat mengalihkan sebagian kecil sahamnya kepada koperasi.
Maksudnya juga agar jurang antara yang besar dan yang kecil tidak terlalu jauh
dan si kecil tidak terlalu dikucilkan.
Sebagai bahan perbandingan kita dapat menimba
pengalaman dari negara-negara lain. Sebagian dari mereka mengantisipasi praktek
monopoli ini dengan mengeluarkan Undang-undang yang dapat mencegah monopoli.
Amerika Serikat misalnya telah mengeluarkan The Sherman Antitrust Act, 1890,
The Clyton Antitrust Act, 1914, Robinson Patman Act, 1936, Celler-Kefauver Act,
1950 dan The Federal Trade Comission Act, 1914. Di Jerman telah ada
Undang-undang tentang Unfair Competition sejak tahun 1909. Di Philipina, ada
satu chapter khusus tentang Frauds in Commerce & Trade pada Penal Codenya
yang direvisi pada tahun 1930, dengan Act Nomor 3815.
Di banyak negara yang sudah melaksanakan dan mempunyai
undang-undang persaingan usaha, memilih efisiensi, efektifitas kegiatan
usaha, dan kesejahteraan umum/rakyat (konsumen) sebagai tujuan utama
dari kebijakanmaupun undang-undang persaingan usahanya.
Sedangkan di Indonesia tujuan undang-undang persaingan
usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus ;
- Secara umum tujuannya adalah menjaga kelangsungan
persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui
keberadaannya.
- Secara yuridis tujuan undang-undang persaingan usaha
di Indonesia telah diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:
- Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen
- Menumbuhkan iklim usaha yang sehat;
- Menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
setiap orang;
- Mencegah praktik-praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
- Menciptakan efekvifitas dan efisiensi dalam kegiatan
usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya meningkatkan kesejakteraan rakyat
Kerangka Dasar Pengaturan UU Nomor 5 Tahun 2009
Selanjutnya, jika kita lebih seksama mempelajari
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi yang
diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.
Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang
terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan
lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya, Pasal 1 memuat perumusan dari 19
istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian
a.
monopoli,
b.
praktik monopoli
c.
pemusatan kekuatan ekonomi
d.
posisi dominan
e.
pelaku usaha
f.
persaingan usaha tidak sehat
g.
perjanjian
h.
persekongkolan atau konspirasi
i.
pasar
j.
pasar bersangkutan
k.
struktur pasar
l.
perilaku pasar
m.
pangsa pasar
n.
harga pasar
o.
konsumen
p.
barang
q.
jasa
r.
komisi
s.
pengawas persaingan usaha
t.
pengadilan negeri
2. Perumusan kerangka politik anti monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pembentukan undang-undang,
sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
3. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan
pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 memuat macam perjanjian yang dilarang
tersebut yaitu perjanjian :
a.
oligopoli
b.
penetapan harga
c.
pembagian wilayah pemasaran,
d.
pemboikotan
e.
kartel
f.
oligopsoni
g.
integrasi vertikal
h.
perjanjian tertutup
i.
perjanjian dengan pihak luar negeri
4. Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan
pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang
tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan;
5. Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh
dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi
dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu :
a.
jabatan rangkap
b.
pemilikan saham
c.
serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
6. Masalah susunan, tugas dan fungsi Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status,
keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
7. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan
usaha oleh KPPU. Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 memuat perumusan
a.
penerimaan laporan,
b.
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan
c.
pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat bukti,
jangka waktu pemeriksaan
d.
Putusan Komisi
e.
Kekuatan putusan komisi
f.
Upaya hukum terhadap putusan komisi
8. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelau
usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai
dengan Pasl 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha,
yaitu :
a.
administratif
b.
pidana pokok
c.
pidana tambahan
9. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan
dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara
dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal
50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat
ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara.
10. Hal-hal yang
menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat
dan/atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan
undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak
undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasal 53 mengatur mulai berlakunya undang-undang,
yaitu terhitung sejak 1 (satu tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh
pemerintah, yaitu tepatnya 5 maret 2000.
Dalam pengaturan persaingan ditetapkan norma larangan
memiliki dua sifat yang harus dimasukkan dalam pengaturan undang-undang, yaitu
larangan yang bersifat per se illegal dan yang bersifat rule
of reason.
Berbagai literatur tentang hukum persaingan usaha
sering disinggung mengenai rule of reason dan per se tersebut.
Dalam literatur tersebut rule of reason dan per se dibahas serba sedikit
untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition
law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa
kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade
Commission Act – Antitrust Law (Asril Sitompul, 1999; 9, Elyta Ryas
Ginting, 2001; 28).
Pengertian
Rule of Reason dan Per Se Rule
Asri Sitompul mendefinisikan rule of reason
adalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu
perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian
dipihak lain. Sedangkan Susanti Adi Nugroho rule of reason adalah
pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan
melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat
yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa rule of reason
merupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan
tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip yang akan digunakan
untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak didasarkan pada akibat
yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau melahirkan kerugian
pada pelaku usaha lain.
Per se rule didefinisikan oleh Asril Sitompul
suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat
dihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut
mengakibatkan kerugian atau menghambat persaingan. Sedangkan Susanti
mendefinisikan per se rule sebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa
mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibat-akibatnya atau kemungkinan
akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan per se rule adalah perbuatan tersebut secara jelas dan
tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim tanpa melihat apakah terdapat akibat
yang merugikan atau menghambat persaingan.
Syamsul Maarif (2002) mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan rule of reason adalah bahwa suatu larangan yang baru berlaku
apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifat Per se adalah larangan
yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak
kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat.
Para ahli hukum persaingan usaha Indonesia dalam
memberikan definisi rule of reason dan per se rule dapat
melakukannya secara tepat namun hanya sebatas memberikan definisi tanpa melihat
latar belakang kemuncullannya. Berbeda dengan penulis dari AS yang selalu
melihat rule of reason dan per se rule secara kontekstual artinya
prinsip tersebut muncul karena putusan hakim dalam mengadili suatu perkara
persaingan usaha. J. David Reitzel (2001; 965) secara lengkap dikutip
pemahaman Reitzel mengenai rule of reason adalah sebagai berikut;
Rule of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan
dari kriteria per se illegal yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah
memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada alasan obyektif (biasanya alasan
ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka
perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Di AS, pengadilan melakukan
pengujian terhadap kasus-kasus yang ditangani dengan menggunakan faktor-faktor
yang terdapat rule of reason antara lain:
1. The pro- and anticompetitive effects of the
challenged restraintt;
2. The competitive structure of the industry;
3. The firm’s market share and power;
4. The history and duration of the restraintt;
5. Other relevan factors.
Dalam Black’s Law Dictionary (1990; 1332)
memberikan definisi rule of reason dan per se rule sebagai
berikut;
Definisi rule of reason dan per se rule
diberikan atas dasar keputusan hakim yang memutuskan kasus-kasus persaingan
usaha di Amerika. Karena dalam Sherman Act mengatur perilaku yang dinyatakan
melanggar hukum (illegal) atau berusaha untuk melakukan monopoli usaha
perdagangan. Keputusan hakim sangat berpengaruh dalam perjalanan hukum
persaingan usaha di Amerika, putusan sangat berperan dalam pembentukan hukum
yang didukung oleh sistem hukum yaitu common law bahwa hakim adalah
pembuat hukum (judge made law). Bahwa rule of reason dan per
se lahir akibat dari sistem common law, dan hal ini sepenuhnya
disadari oleh para penulis hukum persaingan usaha. Bahkan Susanti (2001; 31)
dengan tegas mengatakan bahwa;
Dalam hubungannya dengan penerapan peraturan hukum
yang berkaitan dengan monopoli, Mahkamah agung Amerika Serikat mempunyai
peranan yang sangat penting. Pandangan-pandangan para hakim agung mengenai
praktek-praktek bisnis yang mengarah kepada monopoli selalu mengalami perubahan
dan perubahan tersebut secara umum merefleksikan perkembangan-perkembangan yang
berlangsung dalam bidang ekonomi dan politik.
Kesadaran penulis akan arti penting rule of reason
dan per se dalam hukum persaingan di Amerika tidak diwujudkan dalam
mencari pengertian kedua prinsip tersebut dalam kerangka perjalanan sejarah
hukum persaingan. Rule of reason dan per se bagi para penulis
seolah-olah menganggap keberadaannya hanya sekedar untuk menentukan suatu
perbuatan atau kegiatan dalam rumusan UU Persaingan Usaha termasuk dalam
klasifikasi tertentu. Padahal dalam pembentukan kedua prinsip tersebut muncul
dari penafsiran hakim yang termuat dalam suatu putusan pengadilan. Keputusan
hakim untuk substansi kasus yang sama dapat didekati dengan prinsip yang
berbeda, dengan kata lain apabila di suatu waktu misalnya horizontal price
fixing menggunakan analisa dengan per se standar tetapi waktu yang
berbeda digunakan rule of reason.
Ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap rule
of reason dan per se akhirnya menjerumuskan kepada pemahaman
terhadap UU Persaingan Usaha. Oleh banyak pihak bahwa keberadaan rule of
reason dan per se terdapat pada ketentuan atau pasal-pasal dalam UU
Persaingan Usaha. Sehingga tidak heran apabila penulis seperti Susanti kemudian
membuat klasifikasi terhadap ketentuan yang mengatur tentang perjanjian dan
kegiatan yang dilarang berdasarkan ‘pendekatan’ rule of reason dan per
se. Kurang disadari bahwa prinsip rule of reason dan per se merupakan
hasil penafsiran dari pengadilan (hakim) terhadap ketentuan Sherman Act.
Mengacu pada Section 1 dan 2 Sherman Act bahwa rule of reason dan per
se tidak terdapat pada ketentuan tersebut. Selengkapnya Section 1 dan 2
Sherman Act menyatakan;
Sherman Act hanya mengatur dua hal, yaitu (a) bahwa
kontrak, persekongkolan atau kerjasama yang bertujuan untuk mengadakan
pembatasan perdagangan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan (b) setiap
orang yang melakukan praktek monopoli atau melakukan konspirasi untuk melakukan
monopoli dinyatakan bersalah. Dari bunyi ketentuan Section 1 Sherman Act tidak
mengemuka prinsip rule of reason dan per se. Diantara kedua
prinsip tersebut yang pertama kali muncul adalah prinsip rule of reason
yang merupakan hasil penafsiran hakim pada saat mengadili kasus Standard Oil
Company of New Jersey v. United States (1991). Pada kasus tersebut hakim
berpendapat bahwa penafsiran yang kaku terhadap ketentuan dalam Section 1
Sherman Act tidak dapat diberlakukan dalam perjanjian bisnis pada umumnya.
Apabila dilakukan demikian (penafsiran yang kaku) maka akibatnya semua
perjanjian atau kerjasama adalah melanggar Section 1 Sherman Act, dan hal
tersebut bukan yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang (Kongres). Bahwa
yang dimaksud membatasi perdagangan (restraint of trade) adalah
perjanjian/kontrak/kerjasama membatasi perdagangan secara tidak masuk akal (unreasonably
restraintt of trade) (David Reitzel, 2001; 965).
Suatu ketentuan yang bersifat per se illegal tidak
diperlukan lagi pembuktian dampak larangan tersebut sehingga jika ada pelaku
usaha yang melakukan sesuatu yang dinyatakan yang secara eksplisit dilarang
undang-undang, pelaku usaha tersebut dinyatakan melanggar, tanpa perlu
membuktikan hasil atau akibat tindakan yang dilakukan. Sementara itu, ketentuan
yang bersifat rule of reason memerlukan bukti suatu tindakan yang dilakukan
pelaku usaha, apakah tindakan tersebut tergolong antipersaingan atau merugikan
masyarakat.
Tujuan utama (principal objectives Undang-undang
Persaingan Usaha adalah untuk mendorong timbulnya persaingan dalam rangja
mencapai efisiensi ekonomi (economic efficiency) dan kesejahteraaan konsumen
(consumer welfare). Kepentingan publik (public interest), Seperti isu tentang
keadilan, pembangunan regional, dan penyediaan lapangan kerja (employment),
pemberdayaan perusahaan kecil dan menengah juga merupakan bagian dari
sasaran-sasaran yang ingin dicapai melalui undang-undang persaingan.
1. Larangan yang Bersifat Per Se Ilegal
Larangan yang bersifat per se rule adalah bentuk
larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha
dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktik,
pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu
larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam
praktik usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di
kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan
tersebut.
Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi perilaku para
pelaku usaha yang secara tegas dilarang (per se illegal) antara lain menetapkan
berbagai bentuk perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang
(Bab IV), tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (1),
Pasal 6, Pasal 15, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999.
Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengandalikan dirinya dan melanggar
ketentuan hukum yang mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan
bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan
sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek
yang ditimbulkannya. Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se,
ancaman pidana pokoknya lebih rendah dari pada pelanggaran terhadap larangan
yang bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena
proses pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang
bersifat rule of reason.
2. Larangan yang Bersifat Rule of Reason
Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu
kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha dilihat seberapa
jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang
menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap
larangan yang bersifat rule of reason, pertama dalah bentuk aturan yang
menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi
kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik
persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4,
Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 26, dan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999. Ciri kedua adalah apabila dalam
aturan tersebut memuat anak kalimat “patut diduga atau dianggap”. Pengaturan
seperti itu dapat ditemukan dalam Pasal 4 angka (2), Pasal 13 angka (2), Pasal
17 angka (2), dan Pasal 18 angka (2).
Perbuatan-perbuatan dan kegiatan yang dilarang dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang bersifat rule of reason antara lain apabila
pelaku usaha melakukan beberapa hal berikut.
- Perjanjian yang bersifat oligopoli (Pasal 4)
- Perjanjian pembagian wilayah pemasaran atau
alokasi pasar (Pasal 9)
- Perjanjian yang bersifat kartel (Pasal 11)
- Perjanjian yang bersifat trust (Pasal 12)
- Perjanjian yang bersifat oligopsoni (Pasal 13)
- Kegiatan usaha yang melakukan praktik Monopoli
(Pasal 17)
- Kegiatan usaha yang melakukan praktik monopsoni
(Pasal 18)
- Kegiatan penguasaan pasar (Pasal 19)
- Kegiatan menjual di bawah harga pokok (predatory
pricing) dalam Pasal 20
- Jabatan rangkap dalam perusahaan-perusahaan yang
saling bersaing (interlocking directorate) dalam Pasal 26
- Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
perusahaan lain (Pasal 28)
Perbuatan-perbuatan yang dimaksud jika terbukti
merupakan perbuatan yang menghalangi persaingan (antikompetitif) selain
menghadapi sanksi administratif (vide Pasal 47) juga diancam sanksi pidana,
baik pidana poko (vide Pasal 48 ayat 1) maupun pidana tambahan (vide Pasal 49).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oligopoli diartikan
sebagai : “ Keadaan pasar yang produsen penjual barang hanya berjumlah sedikit
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi pasar.” Oleh karena
keterlibatan lebih dari satu pelaku usaha maka dalam oligopoli diperlukan
adanya kesepakatan antar pelaku usaha tersebut untuk menguasai pasar secara
bersama-sama tanpa merugikan sesamanya. Kejadian seperti itu baru akan terjadi
apabila beberapa perusahaan menyadari bahwa kebijakan penentuan harga-harga
mereka memiliki ketergantungan antarsesamanya.
Kartel umumnya dipraktikkan oleh asosiasi dagang
(trade asociations) bersama para anggotanya. Banyak sekali hal yang bermanfaat
dengan adanya suatu asosiasi dagang, misalnya upaya menyusun suatu standar
teknis atau upaya bersama mengatasi polusi akan menjadi ringan bila diikuti
para anggota. Akan tetapi, bahaya yang akan muncul bila kegiatan asosiasi
tersebut ditujukan untuk mengatur harga karena akan menghambat serta
menghalangi terjadinya suatu persaingan yang sehat.
Penyususn undang-undang juga melihat bahwa salah satu
sarana untuk melakukan tindakan persaingan yang tidak sehat adalam membuat
perjanjian atau kontrak dengan para pelaku usaha tertentu. Dalam hubungan ini,
Pasal 1 ayat (7) memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut. “ Perjanjian
adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis
maupun tidak tertulis”.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah peraturan dalam hal perizinan
kegiatan yang dibuat oleh pemerintah tidak terlepas dari tujuan monopoli suatu
pihak tertentu ?, tentunya hal tersebut pelu dipertanyakan mengingat perizinan
usaha merupakan sarana pengusaha untuk membuka suatu usaha menjadi lancar dan
sah, tentunya tingkat kesulitan persyaratan tersebut harus menjadi pertimbangan
penilaian apakah menguntungkan pihak-pihak tertentu atau tidak.
No
|
Tindakan yang dilarang
|
Pasal
|
Rule of Reason / Per Se
|
1.
|
Olipoli
|
4
|
RR dengan Presumsi
|
2.
|
Penetapan Harga
|
5 s.d. 8
|
RR dan PS
|
3.
|
Pembagian Wilayah
|
9
|
RR tidak tegas
|
4.
|
Pemboikotan
|
10
|
RR
|
5.
|
Kartel
|
11
|
RR tidak tegas
|
6.
|
Trust
|
12
|
RR tidak tegas
|
7.
|
Oligopsoni
|
13
|
RR dengan Presumsi
|
8.
|
Integrasi Vertikal
|
14
|
RR tidak tegas
|
9.
|
Perjanjian Tertutup
|
15
|
PS
|
10.
|
Perjanjian Luar Negeri
|
16
|
RR tidak tegas
|
11.
|
Monopoli
|
17
|
RR dengan Presumsi
|
12.
|
Monopsoni
|
18
|
RR dengan Presumsi
|
13.
|
Penguasaan Pasar
|
19 s.d. 21
|
RR tidak tegas
|
14.
|
Persekongkolan
|
22 s.d .24
|
RR dan PS
|
15.
|
Posisi Dominan Umum
|
25
|
RR dengan Presumsi
|
16.
|
Jabatan Rangkap
|
26
|
RR tidak tegas
|
17.
|
Pemilikan Saham
|
27
|
RR
|
18.
|
Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi
|
28 s.d. 29
|
RR tidak tegas
|
Keterangan :
o Rule of
Reason dilihat dari kata-kata “Mengakibatkan” terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
o Per Se
dilihat dari tidak adanya persyaratan yang mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
o Rule
of Reason Tidak Tegas karena dipergunakan kata-kata “Dapat” mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Perbandingan penentuan prinsip
rule of reason dan per se
antara KPPU dengan Susanti Adi
Nugroho
Rule of Reason
|
Per se rule
|
||
KPPU
|
Susanti
|
KPPU
|
Susanti
|
Oligopoli
|
Oligopoli**
|
Price
fixing
|
Penetapan
harga
|
Predatory
pricing
|
Penetapan
harga
|
Diskriminasi
harga
|
Perjanjian
tertutup
|
Pembagian
wilayah
|
Pembagian wilayah*
|
Perjanjian
tertutup
|
persekongkolan
|
Kartel
|
Kartel*
|
Persekongkolan
|
|
Trust
|
Trust*
|
Posisi
dominan untuk Pasal 25 (1)
|
|
Oligopsoni
|
Oligopsoni**
|
Posisi
dominan untuk Pasal 26 huruf a dan b
|
|
Integrasi
vertikal
|
Integrasi
vertikal*
|
||
Perjanjian
dengan pihak luar negeri
|
Perjanjian
dengan pihak luar negeri
|
||
Monopoli
|
Monopoli**
|
||
Monopsoni
|
Monopsoni**
|
||
Penguasaan
pasar
|
Penguasaan
pasar*
|
||
Jabatan
rangkap
|
Posisi
dominan**
|
||
Penggabungan,
Peleburan dan Pengambilalihan
|
Boikot
|
||
Persekongkolan
|
Selanjutnya, untuk mengetahui baik atau buruk dari apa
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, termasuk dalam bidang
bisnis. Secara normatif-etis telah berkembang tiga teori dasar sebagai berikut
:
(1) Teori Ethical Egoism
(2) Teori Ethical Altruism
(3) Teori Utilitarianism
(Regan, Tom, 1984:20)
Penjelasan dari masing-masing teori adalah sebagai
berikut :
(1) Teori Ethical Egoism
Terori ini hanya melihat terhadap si pelaku
sendiri. Dalam hal ini teori tersebut mengajarkan bahwa benar atau salah dari
sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang diukur dari apakah hal tersebut
mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang tersebut itu sendiri.
Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi orang lain tidak relevan, kecuali
jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap si
pelaku tersebut.
(2) Teori Ethical Altruism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada kepentingan
dari pihak lain dari pihak yang melakukan suatu perbuatan. Menurut teori ini,
apakah seseorang telah melakukan sesuatu perbuatan yang secara moral terbilang
benar atau salah bergantung bagaimana dampak dari perbuatan tersebut terhadap
pihak lainnya. Perbuatan tersebut dianggap benar jika berdampak baik bagi pihak
lain. Demikian juga sebaliknya. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi
si pelakunya tidak relevan untuk dipertimbangkan, kecuali jika bagaimana dampak
terhadap pihak lain tersebut mempunyai dampak yang dapat membalikkan dampak
terhadap si pelaku tersebut.
(3) Teori Utilitarianism
Teori ini lebih menitikberatkan kepada manfaat dari
setiap tindakan terhadap seluruh atau sebagian besar orang. Menurut teori ini,
benar atau salah sesuatu perbuatan diukur dari apakah perbuatan tersebut
berdampak baik atau buruk kepada setiap orang, baik terhadap orang lain maupun
terhadap dirinya sendiri.
Tindakan monopoli itu memang harus diatur oleh hukum,
karena dengan praktek bisnis yang berdasarkan atas monopoli mempunyai banyak
kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Ketinggian harga
Dengan monopoli akan terjadi suatu ketinggian
harga-harga di pasar. Tingginya harga ini diakibatkan oleh tidak adanya
kompetisi pasar. Hal ini akan mendorong timbulnya inflasi sehingga dapat
merugikan masyarakat secara luas.
(b) Excess profit
Karena tidak ada saingan, maka dengan monopoli, suatu
harga dapat ditentukan seenak-enaknya, sehingga monopoli tersebut sangat
berpotensial timbulnya keuntungan yang berlebih-lebihan, Karena itu pula, suatu
monopoli dianggap sebagai suatu pranata ketidakadilan.
(c) Eksploitasi
Eksploitasi dapat terjadi baik terhadap buruh dalam
bentuk upah, tetapi terlebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnya mutu
produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen, karena tidak ada kompetisi di
antara pihak produsen barang.
(d) Pemborosan
Perusahaan monopoli cenderung kepada pemborosan karena
tidak beroperasi pada everage cost yang minimum. Hal ini menyebabkan
ketidakefisienan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung konsumen.
(e) Entry barrier
Monopoli akan menguasai pangsa pasar yang besar. Hal
ini akan mengakibatkan perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke
bidang-bidang operasi perusahaan monopoli tersebut, dan gilirannya nanti akan
mematikan perusahaan kecil dan/atau perusahaan pemula.
(f) Ketidakmerataan pendapatan
Monopoli dapat mengakibatkan timbulnya unsur akumulasi
modal dan pendapatan dari usaha monopoli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar